Podcast Jaringan Etnografi Terbuka

Bagaimana mengatasi tantangan etika dan praktis dalam etnografi digital? Episode ketujuh ini melanjutkan percakapan dengan Annisa Beta tentang sisi yang lebih kompleks dari etnografi digital. Annisa berbagi pengalaman menghadapi dilema etis ketika informan meminta bantuan di luar kapasitas peneliti, navigasi relasi kuasa, dan tantangan menjaga batas antara peran sebagai peneliti dan aktivis. Kita juga membahas patchwork ethnography sebagai alternatif untuk tradisi etnografi yang mengharuskan peneliti "hilang" bertahun-tahun di lapangan.

Episode ini mengeksplorasi bagaimana teknologi digital memungkinkan hubungan jangka panjang dengan komunitas penelitian, sambil membahas pentingnya reflektivitas dan kejujuran tentang posisi privilege sebagai peneliti. Annisa juga menekankan perlunya mengembangkan lebih banyak riset tentang budaya digital Indonesia dan metodologi yang sesuai dengan konteks lokal. Episode ini penting bagi siapa saja yang ingin melakukan etnografi digital dengan cara yang etis dan berkelanjutan.

Musik oleh Komang Rosie Clynes. Editing oleh Rugun Sirait.

What is Podcast Jaringan Etnografi Terbuka?

Podcast Jaringan Etnografi Terbuka adalah sebuah ruang diskusi dan belajar tentang etnografi, dan penjelajahan etnografi sebagai pendekatan yang terbuka dan kolaboratif.

00:00:07 Tito Ambyo
Halo dan selamat datang atau selamat datang kembali di podcast Jaringan Etnografi Terbuka.
Sebuah ruang diskusi dan belajar tentang etnografi dan penjelajahan etnografi sebagai pendekatan
yang terbuka dan kolaboratif. Saya Tito Ambyo dari Armitage University di Narm, Melbourne,
Australia. Dan bersama kita akan menyelami berbagai aspek etnografi terbuka. Episode ini
adalah bagian kedua dari percakapan kita dengan Anissa Beta tentang etnografi digital. Di
episode sebelumnya kita telah membahas kenapa etnografi digital adalah kebutuhan untuk
memahami Indonesia kontemporer. Dan bagaimana kerangka berpikir Embedded, Embodied, dan
Everyday dari Kristen Hein bisa mengubah cara kita memandang teknologi internet dan teknologi
digital lainnya. Hari ini kita akan mendalami aspek yang lebih praktis dan kritis dari etnografi
digital. Anissa akan berbagi pengalaman menghadapi tantangan -tantangan nyata di lapangan
mulai dari masalah etika penelitian, navigasi kompleks relasi kuasa antara peneliti dan

00:01:21 Tito Ambyo
yang diteliti. Kita juga akan mendengar tentang berbagai dilema yang dihadapi oleh seorang
etnografer digital. Bagaimana menangani situasi ketika informan meminta tolong untuk hal
-hal yang diluar kapasitas kita sebagai peneliti. Bagaimana menjaga batas antara peran sebagai
peneliti dan sebagai aktivis. Dan bagaimana juga mengatasi rasa bersalah ketika kita mengambil
pengetahuan dari komunitas namun kemudian kembali ke posisi yang sering dibentuk oleh privilese
di universitas -universitas misalnya. Anissa juga akan membahas tentang Patchwork Ethnography,
pendekatan yang mengakui keterbatasan peneliti dan juga mencari cara untuk melakukan etnografi
yang lebih realistis dan berkelanjutan. Seperti yang akan kita bahas, etnografi Patchwork
Ethnography atau etnografi tambal sulam ini membantu kita menata ulang apa yang diperhitungkan
sebagai pengetahuan dan apa yang tidak. Jadi episode ini penting bagi siapa saja yang tertarik
melakukan etnografi atau etnografi digital dengan cara yang lebih

00:02:29 Tito Ambyo
etis dan reflektif. Selamat mendengarkan.

00:02:41 Tito Ambyo
Mungkin tadi kita udah menyentuh ini juga sih, bahwa banyak yang ya mungkin bukan banyak, tapi
kan kayak kelas -kelas antropologi gitu misalnya. Bukan cuma di Indonesia tapi di tempat -tempat
lainnya juga tuh kayak yang kalau etnografi tuh harus kayak Bronislaw Malinowski gitu kan.
Ketika dia ke West and Pacific dan tinggal di kampung dan udah gitu. Kayak going native gitu
kan. Tapi kalau kita lihat sebenarnya ini kan apa ya, itu ada sejarahnya juga gitu kan. Bagaimana
sejarah antropologi dan sejarah etnografi tuh dulunya itu orang -orang kulit putih datang
ke tempat -tempat ya kayak ke Indonesia. Dan kemudian tinggal dengan kita dan berusaha mengerti
budaya kita. Dan sedangkan ini yang mau kita tawarkan dari etnografi digital, dari ya juga
jaringan etnografi terbuka. Itu mungkin ya kita bisa lah pendekatan etnografi tuh nggak usah
sangat maskulin gitu. Wah gue mau ke kampung mempelajari budaya orang gitu kan. Dan gue akan
keluar dari kampung itu dengan pengertian tentang budaya ini. Menurut

00:04:02 Tito Ambyo
lu gimana?

00:04:05 Annisa Beta
Gue akan menjawab dari kacamata orang yang di akademisi juga kali ya. Yang namanya gagasan
peneliti ideal itu emang ada di setiap disiplin. Dan itu bukan hal baru gitu ya. Dan biasanya
yang ideal itu adalah si pendiri disiplinnya. Antropologi, sosiologi, termasuk di bidang
gue cultural studies. Khususnya mengenai antropologi dan sosiologi dan banyak disiplin
yang lebih konvensional memang selalu yang ideal ini digambarkan awalnya laki -laki, maskulin
pasti. Lalu biasanya dia kulit putih Eropa atau Amerika gitu ya. Dan pasti hyper educated,
sangat berpendidikan. Dan juga kelas atas, kita harus ingatin ya. Bahwa mereka bisa melakukan
semua itu karena biasanya mereka punya cukup uang untuk bereksperimen dan melakukan apa yang
mereka lakukan lah gitu. Dan tadi lu bilang juga ini berkelindang dengan sejarah kolonialisme.
Yang obviously gak semua orang bisa travel seenaknya ke satu tempat. Bahkan peasant di Eropa
kan juga sebenarnya hidupnya gak seperti itu gitu ya. Jadi ada class difference

00:05:07 Annisa Beta
yang harus kita pahami juga. Dan dari situ kan sebenarnya class consciousness kita ketika
kita ngeliat sekarang. Harusnya terpancing gitu, ini kenapa begitu gitu. Dan siapa sih sebenarnya
yang bisa sebulan, tiga bulan di kampung orang gak ada orang tua, gak ada keluarga. Siapa yang
bayarin lu hidup gitu kan?

00:05:27 Tito Ambyo
Dan bukan lagi kalau misalnya lu harus ngurusin anak, ngurusin keponakan.

00:05:31 Annisa Beta
Ngurusin orang tua kalau masih muda gitu misalnya. Jadi ketika kita mau mikirin gimana sih
kita bisa melawan si figur peneliti ideal ini. Sebenarnya ya jawabannya justru kita harus
tanya balik ke kondisi kita sekarang gitu ya. Dan ini menurut gue kenapa ya gue percaya banget
jaringan etnografi terbuka itu urgent. Tapi juga untuk ngomongin bentuk -bentuk atau bayangan
baru mengenai siapa itu etnografer ideal gitu ya. Dan itu penting karena ketika kita membicarakan
etnografi digital, tadi lu bilang juga banyak orang di Indonesia yang belum begitu paham.
Isunya adalah peremehan ini terjadi karena etnografi digital sering dianggap mudah. Dan
kemudahan ini yang jadi masalah kan. Karena kesannya lu bisa tinggal scroll internet, terus
mungkin ngobrol dengan 1 -2 users atau apapun. Dan itu saja. Masa sih segampang itu? Jadi pertanyaan
tentang bahwa pengetahuan itu harus sulit dan harus asing dan jauh dari yang bisa mengolah
pengetahuan itu, itu kan juga sangat kolonial ya. Dan in a way juga sangat

00:06:38 Annisa Beta
maskulin yang agak suka nyakitin diri sendiri gitu. Harus jauh dari hal -hal yang membuat lu
ngerasa nyaman, baru lu worth it untuk menciptakan pengetahuan baru gitu ya. Dan jadi kita
harus mendiskusikan ini dengan bertanya gitu. Siapa sih the natural researcher yang kita
bayangkan ketika kita memikirkan pengetahuan dan peneliti? Dan tentu kita harus secara keras
kepala gue rasa untuk bertanya ketika lu bilang mendalami sesuatu, immersion, one of the key
principle of etnography. Apa itu sih immersion? Apakah ini berarti lu harus benar -benar lepas
dari situasi lu sendiri lalu immerse yourself dalam situasi yang beneran baru? Atau sebenarnya
apa yang di sekitar lu juga bisa jadi hal yang lu kaji gitu. Asalkan lu mau misalnya tentu mempertanyakan
hal -hal yang lu anggap remeh. Atau hal -hal yang lu anggap udah terlalu sehari -hari gitu. Dan
selain itu juga ketika kita mencoba melawan imaji ideal ini sebenarnya udah ada sih di feminist
anthropology. Untuk bilang bahwa kita harus penuhnya sadar

00:07:46 Annisa Beta
bahwa pengetahuan apapun yang kita ciptakan pada akhirnya itu pasti partial, cuma sebagian.
Nggak akan memberikan gambaran penuh sama sekali. Yang tentu ini melawan semua gagasan antropologi
40 -an, 60 -an yang kayak this is the whole story, ini cerita sepenuhnya tentang komunitas A.
Atau ritualnya suku B gitu. Dan bahwa pengetahuan lu harus kontekstual dan juga apapun yang
lu hasilkan pasti spesifik pada waktu, pada situasi politik, sosial, budaya tertentu. Dan
lu nggak akan bisa menjelaskan semuanya. Dan kalau kita bisa coba sedikit keras kepala pushing,
mendorong ide itu supaya terkenal, sebenarnya ya akhirnya pada akhirnya memang itu bisa membuka
jalan buat orang -orang yang nggak biasa dianggap atau dilihat sebagai peneliti. Karena semua
orang sebenarnya punya kapasitas itu menurut gue. Lu tadinya mau ngomong sesuatu ya?

00:08:43 Tito Ambyo
Nggak, gue juga tadi ini berhubungan banget sama ide etnografi tambal sulam. Kenapa patchwork
etnografi. Tapi sebelum kita ke patchwork etnografi,

00:08:55 Tito Ambyo
kalau dari gue sih juga mungkin yang dengerin ini bilang, oh jadi ilmu antropologi zaman Geertz,
zaman Malinowski itu udah nggak ada gunanya. Nggak juga sih. Karena kan kayak misalnya tadi
kan Christine Hein bicara tentang embedded and everyday. Everyday itu kan sebenarnya juga
ada kontinuitasnya dengan ide apa yang kata Bronislaw Malinowski bilang,

00:09:25 Tito Ambyo
diimponderabilia of everyday life. Apa artinya? Jadi dia bilang bahwa kalau kita mau jadi
antropolog itu kita harus meneliti mungkin perterjemahan paling anaknya apa ya, nuansa kehidupan
sehari -hari gitu. Yang kayak Malinowski itu kan dulu dia ngelihat, oh orang bangun pagi itu
gimana sih di Trobriand ini. Terus udah gitu kalau bangun pagi, siapa yang bangun pagi, jam
berapa. Hal -hal yang kayak kata lu tadi kan, yang mungkin buat orang -orang itu udah ini remeh
-remeh aja, ini kok masa yang kayak gini diteliti gitu kan. Jadi ada keberlanjutannya juga
gitu kan, bahwa kita masih tertarik dengan yang dulu Malinowski tertarik gitu. Bahwa kita
bukan cuma mau meneliti, oh budaya sihir di Trobriand Island itu seperti apa, tapi kayak kehidupan
orang sehari -hari itu seperti apa sih. Karena itu masih jadi yang penting gitu kan untuk kita
teliti juga.

00:10:22 Annisa Beta
Jadi maksud itu jangan biarkan ayahmu pergi.

00:10:25 Tito Ambyo
Jangan biarkan ayahmu pergi.

00:10:26 Annisa Beta
Ayahmu masih ada. Ayahmu masih ada. Lu satu antrop ya?

00:10:31 Tito Ambyo
Satu, gue antropologi. Dan kalau gue mau mengaku dosa nih, jadi dulu tuh emang gue pengen gitu
kan kayak, gue pengen kayak jadi sang pendiri gitu kan. Jadi pengen jadi kayak, gue mau ke sebuah
desa yang belum pernah dikunjungi oleh orang -orang lainnya. Dan gue pengen kesana untuk mempelajari
budaya mereka gitu kan. Sampai gue ngerti, sampai... Tapi ya itu gue masih, waktu masih muda
lah ya.

00:10:55 Annisa Beta
Maaf, gue masih bingung.

00:10:58 Tito Ambyo
Cuma itu perlu, kita juga perlu ini kan, buat gue, gue merasa beruntung. Untungnya gue kemudian
ketemu banyak orang -orang yang bilang, oh itu ya oke, lu mau kayak gitu juga boleh gitu kan.
Tapi mungkin lu pikirin juga lah, gimana kolonialisme itu membentuk imajinasi gue, untuk
gue pengen jadi antropolog gitu kan. Atau ya mungkin di bidang gue yang lainnya, jurnalis gitu
kan. Ada yang nganggep, oh jurnalis tuh harus begini, begini, begini. Yang menurut gue juga,
oh nggak juga sih. Banyak macam -macam. Kalau misalnya kita ke mana -mana juga kan, jurnalis
tuh macam -macam juga budayanya gitu. Kayak misalnya gue di Jakarta gitu kan. Jurnalis Jakarta
tuh sering lebih senang berbagi gitu. Kalau misalnya, dan ini ada hubungannya sama yang tadi
kita bilang sih. Di Australia itu kan, oh jurnalis tuh saingan banget. Kalau misalnya gue kerja
untuk Channel 7, lu kerja untuk Channel 9, kita nggak akan berbagi, untuk misalnya gue punya
rekaman, gue nggak akan kasih gitu kan. Tapi kalau Jakarta kan kayak,

00:12:00 Tito Ambyo
ya lu kan Jakarta Utara, gue Jakarta Selatan ya, ayo kita ganti -gantian gitu, kita berbagi
gitu kan. Jadi bahkan yang kayak gitu kan, oh antropologi kita bisa melihat kehidupan sehari
-hari orang yang dianggap remeh -temeh itu, yang bisa kita pelajari. Nah gue jadi ngomongnya
ke mana -mana nih. Sebelum bicara tentang patchwork etnografi ini, ada satu pertanyaan yang
gue pengen nanya ke Anda, mungkin buat yang dengerin ini, mungkin pertanyaan itu sangat apa
ya, gue pengen bikin etnografi digital nih, tapi secara praktiknya gimana? Dan mungkin salah
satu pertanyaan paling penting itu, gimana sih kita menentukan batasan penelitian kita gitu
kan. Kalau misalnya antropologi, etnografi ke kampung gitu kan, oh gue meneliti kampung ini.
Kalau digital itu gimana? Gimana kita menentukan field kita itu?

00:12:44 Annisa Beta
Oke, mungkin ada baiknya juga, gue sedikit ngasih konteks bahwa, ketika etnografi digital
ini muncul, satu hal yang ada perkembangan yang menarik banget di antropologi dan etnografi,
yaitu tulisannya George Marcus, kalau lu udah baca atau, tentu lu udah baca. Multisided Ethnography.
Maaf, itu menjengkelkan. Gue akan ulang lagi.

00:13:09 Annisa Beta
Multisided Ethnography dari George Marcus gitu ya. Dan satu hal yang dia tawarkan sebenarnya
follow the. Apa yang lu ikuti gitu. Jadi ketika kita ngomongin field, ketika kita ngomongin
lapangan, buat gue dan pengalaman gue, akan lebih berguna kalau lu mulai dengan isu. Isu apa
sih yang, fenomena apa yang menarik buat lu gitu ya. Buat gue sendiri, di dua proyek etnografi
besar yang udah gue jalankan, isu yang pertama yang menarik buat gue, karena gue datang dan
lahir dan besar di keluarga yang, agama Islam itu memiliki peran yang berubah -ubah gitu ya.
Jadi gue tertarik dengan, gimana sih kok orang jadi lebih visibly pious, orang jadi terlihat
lebih soleh, terutama perempuan muda, orang -orang yang seperti gue. Jadi itu datang dari
personal interest, dan juga hal yang gue observasi di masyarakat gitu ya. Dan pada saat yang
bersamaan, dan gue beruntung, gue nyelesaikan S3, gue punya kesempatan untuk lanjut gitu
ya, di kerjaan riset ini. Gue melihat bahwa, ketika gue kurang tertarik, mulai

00:14:16 Annisa Beta
hilang minat gue dengan isu agama, dengan berbagai alasan. Gue melihat ada, peningkatan atau
minat di, feminisme di antara teman -teman muda gitu ya. Jadi buat gue isu menjadi penting,
dan tadi kalau mungkin, diperhatikan juga, apa yang menarik buat gue, jadi penting. Gue sendiri
cukup beruntung, melakukan penelitian, nggak pernah lepas dari minat pribadi gue gitu ya.
Dan jadi buat gue, follow the issue, is my thing. Dan karena itu, field gue tidak terbatas, pada
yang kita bayangkan sebagai lokasi. Lokasi itu apa sih? Misalnya kayak, oh Jakarta, atau sekolah,
atau misalnya, Instagram, atau YouTube platform aja. Buat gue, lokasi gue, site gue, field
gue adalah, social media platforms, messaging juga, gue actively messaging with them, interview,
I do interview, karena berarti gue harus ke Jakarta, dan ngobrol sama mereka, misalnya, I do
discussions with them, yang didesign sebagai focus group discussion, ataupun, hanging out
gitu ya, beneran nongkrong sama mereka di events, atau ngopi, segala

00:15:23 Annisa Beta
macam. Terus, I do archival works as well, gue juga ke perpustakaan, ke tempat -tempat dimana,
arsip -arsip yang gue rasa penting itu ada. Terus, gue juga collect ephemera, ephemera itu
kayak maksudnya, hal -hal yang mungkin dianggap nggak penting, kayak sticker, atau selebaran
-selebaran, yang mungkin berguna nantinya, karena kan namanya, etnografi itu, bagian kedua
dari etnografi, graph, adalah menulis kan. Ketika lu menulis, lu nggak tahu sebenarnya, at
that moment, apa yang penting. Tapi kadang, ketika lu lihat ke belakang, itu bisa jadi penting.
Jadi buat gue, field itu udah, tidak bisa didefinisikan secara tradisional lagi, bukan lagi
sekedar kampung, atau ada physical limit gitu ya, ataupun secara digital yang mungkin, agak
konvensional juga gitu, platform tertentu, atau media tertentu aja. Jadi buat gue, follow
the issue, itu lebih penting, daripada menentukan batasan -batasan, yang menurut gue, toh
sebenarnya, kalau lu hangout banyak dengan etnografer, lu tahu etnografi yang baik

00:16:25 Annisa Beta
itu kan, etnografi yang porous, yang unplanned, dan messy.

00:16:30 Tito Ambyo
Ya, dan dari tadi, kata yang muncul di kot dia, pikiran lu itu ya messy gitu kan, rentakan emang.

00:16:37 Annisa Beta
Jadi daripada bertanya lapangan gue itu apa, atau field gue itu apa, buat gue pertanyaan yang
penting adalah, how far are you willing and able to go? Jadi seberapa... And

00:16:53 Tito Ambyo
how much time you have. Exactly,

00:16:55 Annisa Beta
how much are you able to go? Jadi sejauh mana lu mau, dan mampu gitu kan. Karena kan kemampuan
ini tentu dibatasi banyak hal juga. Different times, pendidikan, segala macam gitu ya. Jadi,
mungkin juga nge -quote, lu di Ubud to sit with the discomfort juga. Kadang kan perencana berubah,
dan lu juga nggak tahu apa yang akan terjadi, ketika lu melakukan proses etnografi tersebut.

00:17:19 Tito Ambyo
Ya, dan mungkin disini penting membangun jaringan ya. Biar ada teman -teman buat ngobrol gitu
kan. Kalau misalnya, apalagi kan, ya kalau misalnya kita punya ide yang beda, dengan dosen
pemimbing, misalnya kan itu bakal jadi, ya tantangan juga gitu. Gimana kita menafigasi, apa
yang dosen pemimbing kita mau, tapi juga apa yang menurut lu, paling penting buat penelitian
ini. Dan juga, seberapa banyak waktu yang lu punya.

00:17:45 Annisa Beta
Dan mungkin di luar konteks pendidikan, dosen pemimbing, juga kadang kalau teman -teman aktivis,
atau teman -teman community workers, kita juga harus bertanya, apa sih yang donor kita mau?
Dan mungkin, ada hal -hal yang juga lu bisa pikir lebih lanjut. Bukan berarti, harus produktif
banget, tapi juga bukan berarti, nggak bisa mempertanyakan, ini penelitian kita mau sejauh
mana.

00:18:07 Tito Ambyo
Ya, dan juga mungkin salah satu yang pernah gue, nasihat dari kolega di RMIT, Anet Markham.
Yang dia bilang tuh, kalau penelitian lu kerasanya terlalu kecil, itu berarti belum cukup
kecil. Jadi kayak, kadang -kadang kita juga harus mikir, gue harus lebih spesifik lagi kayaknya,
mengikuti isu apa, yang kayak misalnya tadi lu bilang, stiker gitu kan. Gue dari dulu tuh pengen,
meneliti stiker -stiker di, stiker punk di Bandung gitu kan. Di gerobak -gerobak, terus ada
stiker -stiker. Itu kan sebenarnya kalau kita meneliti satu hal, kita ikutin gitu, dunia akan
terbuka gitu. Banyak banget kita yang bisa kita pelajari. Tapi mungkin kita agak, keluar dari
etnografi digital. Ini lebih etnografi ini. Tapi mungkin yang berhubungan lagi, tadi yang
tadi kita, yang tadi gue bilang itu etnografi tambal sulam. Patchwork etnografi. Mungkin
patchwork etnografi dan digital etnografi, itu bukan hal yang sama ya. Tapi muncul di saat
yang bersamaan. Patchwork etnografi tentunya muncul baru -baru ini. Dan ini

00:19:18 Tito Ambyo
ada kutipan agak panjang. Tapi kayaknya gue bakal baca semua nih. Jadi ini dari manifesto etnografi
tambal sulam. Etnografi tambal sulam menawarkan sebuah cara baru, untuk mengetahui dan mengakomodasi,
bagaimana kehidupan peneliti dalam kompleksitas utuhnya, membentuk produksi pengetahuan.
Dalam proses itu, kami berpendapat bahwa pengetahuan antropologis itu sendiri, yang harus
diubah bentuk. Etnografi tambal sulam membantu kita menata ulang, apa yang diperhitungkan
sebagai pengetahuan, dan apa yang tidak. Apa yang diperhitungkan sebagai penelitian, dan
apa yang tidak. Dan bagaimana kita bisa mengubah, kita dapat mengubah wujud realitas, yang
telah digambarkan pada kita sebagai batasan -batasan, dan hambatan -hambatan, bagi terbukanya
wawasan -wawasan baru. Apa yang terpikir dari otak lu, ketika dengar tentang patchwork etnografi
ini?

00:20:19 Annisa Beta
Buat saya, patchwork etnografi sebenarnya, saya sudah cukup banyak belajar mengenai itu,
karena Ben Haggerty juga memperkenalkan ke saya, dan menarik banget. Dan saya sangat setuju
dengan semua premisnya. Dan buat saya, patchwork etnografi sangat terkait dengan digital
etnografi juga. Terutama dalam hal bagaimana, yang tadi kita bahas kadang, ada bagian atau
ada kritisisme mengenai etnografi digital, bahwa dia kurang sahih. Tadi kita sudah bahas
juga, karena dianggap lebih mudah. Tapi itu kan yang didorong sama patchwork etnografi, bahwa
penelitian juga harus dimudahkan hidupnya. Bukan untuk kemudian mengurangi rigor, bukan
untuk kemudian tidak mendalami apa yang lo mau teliti. Tapi kritiknya adalah untuk mempertanyakan,
ketika misalnya tadi kita cerita tentang etnografer yang ke kampung, atau ke komunitas yang
dia tidak ketahui, itu kan ada batasan yang sangat jelas antara rumah lo di mana, dan field lo
di mana. Dan itu yang tradisional yang dianggap sempurna, yang akhirnya kita tahu cenderung

00:21:35 Annisa Beta
hanya bisa dilakukan sama orang -orang maskulin, yang nyaman ninggalin keluarganya. Tidak
semua laki -laki juga bisa ninggalin keluarganya begitu saja. Tapi orang -orang yang punya
privilege untuk bisa ninggalin rumah. Nah etnografi digital dan patchwork etnografi pada
prinsipnya mempertanyakan, kenapa sih harus dipisahkan? Dan itu kan yang sebenarnya tadi
awal banget lo bilang, ya buka komputer saja bisa dapat apa sih? Tapi that's the idea, isn't
it? Kenapa lo harus mempersulit proses lo mencari pengetahuan, dan mengkaji hal yang menarik
buat lo. Bahwa sebagian dari etnografi digital lo bisa lo lakukan hanya dengan buka komputer,
atau dengan main HP. Apa sih yang salah dengan itu? Bahwa lo ada di situasi yang aman, nyaman,
di rumah mungkin, dekat dengan keluarga lo, orang tua, anak, atau siapapun yang lo harus urusin.
Sehingga lo nggak perlu setiap kali ke lapangan lo harus hilang setahun. Siapa sih yang bisa
lakuin itu sebenarnya? Dengan nggak cuma kondisi perbedaan gender, tapi dengan

00:22:37 Annisa Beta
kondisi funding yang sangat precarious sekarang di Indonesia maupun di Australia. Dan cara
kita mengakomodasi ini jadi sangat penting karena buat gue ada potensi untuk memikirkan bagaimana
patchwork etnografi, etnografi tambal sulam, atau digital etnografi, dan digital etnografi,
itu sebenarnya bisa dipakai dan dimanfaatkan sama teman -teman di Indonesia yang cenderung
over research, yang terlalu banyak diriset sama orang lain. Tapi mereka sendiri nggak pernah
meriset atau tahu apa sih etnografi sebenarnya. Jadi buat gue ada potensi di etnografi digital
dan etnografi tambal sulam untuk diperkenalkan ke teman -teman yang biasanya nggak punya
waktu untuk paham itu etnografi. Karena mereka kerja, atau karena mereka community organizer,
atau mereka kerja di NGO. Dengan misalnya prinsip patchwork etnografi yang dipermudah, tidak
harus ada di satu tempat lama. Lebih banyak orang kan jadi bisa menjadi seorang peneliti, menjadi
seorang etnografer. Dengan etnografi digital yang lu buka HP, mendalami,

00:23:40 Annisa Beta
lu bisa paham, itu kan juga lebih banyak orang lebih memahami ada apa sih yang terjadi di dunianya.
Tapi tentu kritik akan datang dan bilang kalau, is that knowledge? Apakah itu pengetahuan?
Kayaknya kerja lu, gue, dan teman -teman lain di Jet, untuk kemudian bilang iya, itu pengetahuan.
Dan semua orang punya hak dan akses ke pengetahuan yang sama. Baik membaca, mengkonsumsi,
maupun menciptakan, memproduksi.

00:24:09 Tito Ambyo
Karena mungkin selama ini kita lebih banyak dibaca ya. Karena kita lebih banyak diteliti.
Karena kalau kita lihat lagi memang pada dasarnya jaringan etnografi terbuka, etnografi
digital, dan juga etnografi tambal sulam ini yang kita lakukan adalah menantang produksi
pengetahuan yang selama ini ada. Jadi kayak tadi dikutipan itu, bagaimana kehidupan peneliti
dalam kompleksitas utuhnya membentuk produksi pengetahuan. Nah ini kan kayak misalnya gue
kenal juga beberapa teman yang PhD -PhD tapi terus udah gitu, harus ibunya sakit atau apa, harus
berhenti. Sedangkan kita dengan metode etnografi digital, dengan juga teori -teori dari
etnografi tambal, kita bisa bilang, oh nggak usah berhenti. Tapi kita bisa cari caranya gimana
sih kita bisa, orang yang nggak punya waktu tetap bisa meneliti juga.

00:25:12 Annisa Beta
Iya, dan kalau sempat nanti teman -teman baca manifestonya, atau wawancara pendirinya gitu,
hal yang mereka juga tekankan adalah apa yang mereka bilang, membuat tampak terlihat, tambal
sulam. Jadi membuat sulamannya semakin kelihatan daripada nggak. Maksudnya adalah bahwa
tadi misalnya dicontoh lo, bahwa lo PhD, terus ibu lo sakit, atau orang terdekat lo ternyata
nggak bisa ditinggal intinya. Sebenarnya itu bagian penting dari bagaimana lo menciptakan
pengetahuan. Dan untuk bilang ke pembaca lo, atau siapapun yang nanti tertarik dengan penelitian
lo, bahwa nggak semudah itu menciptakan pengetahuan. Dengan berbagai halangan, ketidakmampuan
kita, secara fisik maupun mental. Untuk menjalankan penciptaan pengetahuan ini secara sempurna.
Sebenarnya penciptaan pengetahuan tidak pernah sempurna. Tapi yang sering terjadi adalah
ada penutupan itu semua. Terutama di peneliti laki -laki zaman dulu. Sampai ada pertanyaan
kayak, siapa sih yang sebenarnya bikin makanan buat Max atau buat Adam Smith?

00:26:21 Annisa Beta
Kok dia bisa duduk dalam satu ruangan mikir berhari -hari? Jadi kan itu pertanyaan -pertanyaan
yang membuat tambal sulamannya semakin kelihatan. Dan seharusnya kita nggak perlu malu.
Apalagi dengan lebih banyak peneliti perempuan, peneliti queer, peneliti yang mungkin datang
dari keragaman latar belakang. Nggak semua orang kaya, nggak semua orang ngerti kenapa lo
harus ngeliti lama. Dan untuk lo bisa ngeliatin itu, itu membuat orang lain jadi lebih terbuka
dan nggak takut sama pengetahuan.

00:26:53 Tito Ambyo
Ya dan mungkin kalau balik lagi ke Malinowski nih. Mungkin yang dengerin, juga pernah baca
tentang gimana... Sekarang kita tahu Malinowski sebenarnya waktu penelitian itu mikirnya
apa saja. Karena buku hariannya udah diterbitkan. Dan ada jurang yang sangat besar. Antara
yang dia tulis dan yang dia pikirkan. Dan banyak yang sangat problematik dari cara dia berpikir.
Yang nggak nongol di penelitian dia. Dan ini yang mungkin kita bisa mulai, oh ya Malinowski
itu dia juga manusia. Dia juga ada tambal sulamnya ini yang selama ini nggak kelihatan. Sampai
kita bisa ngeliat, oh ternyata ini tuh yang dia pikirin. Dari buku hariannya segala macam.
Jadi mungkin kita juga, buat gue juga penting untuk kita bisa mulai melawan itu. Bahwa banyak
peneliti -peneliti yang dulu meneliti Indonesia. Kayak gitu mereka bisa meneliti Indonesia.
Karena ada funding buat ke Indonesia 2 tahun untuk meneliti. Tapi juga ada struktur di balik
produksi pengetahuan. Itu kan yang seringkali nggak kelihatan. Terakhir, kalau

00:28:15 Tito Ambyo
sekarang ini kita udah bicara tentang etnografi digital. Kalau ada mahasiswa yang mau mulai
penelitian etnografi digital. Apa yang akan lu bilang ke mereka?

00:28:29 Annisa Beta
Tiga hal yang akan gue bilang. Pertama, jangan anggap enteng apa yang lu lihat online. Jadi
mulai dengan sensibilitas bahwa apa yang terjadi di digital, apa yang terjadi secara online
itu penting. Sama pentingnya dengan apa yang lu lihat di dunia nyata. Kedua, biasain mengarsip
apa yang lu lihat secara online atau digital. Kita semua tahu apa yang kita lihat online itu
kan sangat ephemeral, sementara. Dan sebenarnya itu ada baiknya. Karena memang itu dalam
arsitektur digital, arsitektur internet. Memang dibuat seperti itu. Tapi berlatih untuk
mengarsip itu sebenarnya latihan yang penting juga. Untuk seorang etnografer. Banyak caranya,
screenshot, bisa web archive, dan berbagai macam teknologi dan alat yang bisa lu pakai. Tapi
poinnya adalah biasakan mengarsip apa yang lu lihat yang lu anggap penting. Karena itu nanti
jadi hal yang akan lu lihat kembali. Dan hal itu menurut gue jadi penting karena lu juga jadinya
mendefamiliarisasi diri lu dengan apa yang lu lihat sehari -hari. Kalau lu

00:29:42 Annisa Beta
arisipin kan sebenarnya kadang yang kita lihat seminggu lalu itu sebenarnya nggak akan terjadi
di minggu ini lagi. Dan itu yang harus dilatih gitu ya. Kebiasaan untuk penasaran, ingin tahu,
dan menyimpan. Dan selain itu yang paling penting sebenarnya adalah untuk keeping field notes.
Itu yang membedakan etnografi dengan berbagai metode lain. Gue orangnya note taker banget.
I take very rigorous notes for everything. It's not the cheapest thing to do in life. Tapi mencatat
itu penting dengan alat apapun yang lu punya. Karena yang membedakan etnografi dengan metode
lain, digital ataupun konvensional sebenarnya adalah kemampuan lu untuk mencatat dan bercerita
kembali. Jadi biasakan mencatat dan suatu hari lu jadi storyteller tentang apa yang lu lihat.

00:30:31 Tito Ambyo
Ya, dan kita sering dengar kenapa peneliti -peneliti yang setelah puluhan tahun meneliti
tentang sesuatu, kemudian mereka lihat lagi field notes mereka waktu mulai, itu jadi bagian
their own story, penelitian mereka. Jadi jangan anggap enteng, terus belajar mengarsip dan
juga belajar mencatat. Terima kasih banyak Anissa. Ada lagi yang mau ditambahin?

00:30:59 Annisa Beta
Itu aja Tito.

00:31:00 Tito Ambyo
Terima kasih banyak.

00:31:01 Annisa Beta
Thank you.

00:31:09 Tito Ambyo
Terima kasih telah mendengarkan bagian kedua dari obrol -obrol kita dengan Anissa Beta tentang
etnografi digital. Dari diskusi hari ini ada beberapa refleksi penting yang patut kita renungkan.
Pertama, etnografi digital membawa tantangan etika yang kompleks. Kedekatan yang tercipta
melalui media sosial misalnya bisa mengaburkan batas antara kehidupan pribadi kita dan kehidupan
kita sebagai profesional. Antara peran sebagai peneliti dan sebagai teman. Kita perlu mengembangkan
sensitivitas untuk mengenali kapan kita diminta bantuan yang melampaui kapasitas kita sebagai
peneliti. Kedua, etnografi tambah sulam atau patchwork ethnography menawarkan alternatif
untuk tradisi etnografi yang mengharuskan peneliti hilang selama bertahun -tahun di lapangan.
Pendekatan ini mengakui realitas kehidupan peneliti yang memiliki tanggung jawab. Misalnya
keluarga, pekerjaan, keterbatasan finansial sambil tetap mempertahankan kedalaman etnografis.
Ketiga, teknologi digital memungkinkan kita untuk tetap terhubung

00:32:18 Tito Ambyo
dengan komunitas penelitian dalam jangka panjang. Hal ini menciptakan peluang untuk hubungan
yang lebih berkelanjutan namun juga tanggung jawab untuk mempertahankan relasi tersebut
dengan cara yang bermakna. Keempat, reflektivitas adalah salah satu kunci pembuka kesuksesan
dalam etnografi digital. Kita perlu jujur tentang posisi kita, kita perlu jujur dalam mengakui
keterbatasan kita, dan kita harus terus mempertanyakan apa sebenarnya dampak kehadiran
kita dalam komunitas yang kita teliti. Dan yang terakhir, etnografi digital di Indonesia
masih memerlukan pengembangan. Seperti yang dikatakan oleh Anissa, kita perlu lebih banyak
penelitian tentang budaya digital di Indonesia dan juga perlu mengembangkan pendekatan
metodologi yang sesuai dengan konteks lokal. Kalau kamu tertarik melakukan etnografi digital,
ingat juga bahwa ini bukan sekadar tentang penggunaan teknologi, tapi juga tentang memahami
bagaimana teknologi membentuk dan dibentuk oleh hubungan sosial yang tidak sederhana. Terima

00:33:26 Tito Ambyo
kasih kepada Dr. Anissa Beta dari University of Melbourne yang telah berbagi pengalaman dan
refleksi yang sangat berharga ini. Jangan lupa berlangganan dan bagikan episode ini kepada
teman -teman yang tertarik dengan etnografi digital dan juga metodologi penelitian yang
lebih reflektif. Dan kalau ada waktu, ayo ngobrol lewat Instagram, beritahu kami apa yang
kamu ingin diskusikan tentang etnografi, karena kami hampir kehabisan episode, jadi silahkan
berikan kami ide -ide. Untuk informasi lebih lanjut tentang Jaringan Etnografi Terbuka,
kunjungi website kami di etnografiterbuka .org Terima kasih sekali lagi untuk keluarga Jaringan
Etnografi Terbuka, terutama Anissa Beta, Ben Hagerty, Vikri Haidar, Eni Pujiutami, Rosie
Clines untuk komposisi musik, dan Rugun Sirait untuk editing, dan juga Anda sebagai pendengar.
Saya Tito Ambyo, dan Anda baru mendengarkan podcast Jaringan Etnografi Terbuka. Ingat bahwa
etnografi yang baik adalah etnografi yang jujur tentang kemampuan kita, keterbatasan kita,

00:34:28 Tito Ambyo
dan dampak kita dalam kehidupan orang lain. Sampai jumpa di episode berikutnya.